Barang siapa yang BERTAQWA niscaya ALLOH akan memberi jalan keluar dari persoalannya & rizki yang tak terduga-duga (QS. At thalaq:2)

Senin, 25 Juli 2011

Mengajari Anak Puasa Lewat Kegembiraan Dunianya

Ramadhan adalah bulan yang dinanti oleh umat Islam seluruh dunia. Dari segala kalangan, ras, serta suku bangsa menyambutnya dengan suka cita. Laki-laki, perempuan, dewasa atau pun anak-anak berusaha untuk tidak kehilangan atas kegembiraannya.

Untuk anak-anak kita, saya sendiri pernah bertanya, kapan saatnya mengajari anak kita menjalankan ibadah di bulan suci ini khususnya puasa? Kapan mulainya? Seperti apa? Bagaimana melatihnya?. Semua pertanyaan itu dulu pernah saya tanyakan dalam hati saya. Mungkin saya akan coba memberikan kepada anda pengetahuan kecil yang sangat penting untuk anak kita. Saya bukannya guru atau pemuka agama tapi saya pernah membaca hal ini dan mencoba menulisnya di blog ini.

Pelajaran terbaik yang dapat diberikan kepada anak kita khususnya yang masih batita tentunya adalah memberikan contoh. Yang pasti orang tua juga harus berpuasa untuk menjadi tauladan anaknya. Dengan demikian diharapkan anak akan sedikit demi sedikit berpikir dan bergerak untuk meniru.

Bagaimana caranya?

Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ar-Rubaiyyi binti Muawwidz, ia berkata: Rasulullah SAW. Mengutus seorang pada pagi hari Asyura ke perkampungan Anshar. Katanya: ”siapa yang pagi ini berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan menyempurnakan puasanya. Maka kami pun menyempurnakan puasa pada hari itu dan kami mengajak anak-anak kami berpuasa. Mereka kami ajak ke Masjid, lalu kami beri mereka mainan dari benang sutera. Jika mereka menangis minta makan kami berikan mainan itu, sampai dating waktu berbuka.”

Dari hadist di atas dapat diambil kesimpulan bahwa metode dalam melatih anak berpuasa dapat dilakukan dengan permainan karena itu memang dunia mereka. Dengan menggiring lewat kegembiraan bermain, proses yang kita tanamkan akan lebih mudah diterima ketimbang langsung sesuai kehendak kita.

Sebenarnya banyak macam cara untuk melatih anak kita untuk berpuasa. Jangan terlalu memaksa dan yang paling penting adalah beri tauladan atau contoh seperti yang saya tulis di atas.

Kapan sebaiknya anak kita mulai dilatih berpuasa?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, marilah kita simak sebuah hadist ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., “kapan seorang anak dilatih untuk shalat?” Rasulullah SAW. menjawab, “jika ia sudah dapat membedakan tangan kanan dan kirinya.”

Jika kita perhatikan hadist diatas, menurut anda kapan anak kita bisa menbedakan tangan kanan atau kirinya? Tentu 2 atau 3 tahun bukan?. Hadist melatih anak shalat diatas dapat disamakan dengan ibadah lainnya seperti puasa atau haji bagi yang mampu.(dari Abdullah NAshih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad fil Islam).

Dengan demikian jelas bahwa seperti halnya shalat, maka puasa pun sudah dapat diperkenalkan pada anak sejak mereka berusia 2 atau 3 tahun, yaitu ketika mereka sudah dapat membedakan tangan kanan dan tangan kirinya. Sudah jelas ini merupakan hadist dari Rasulullah SAW. dan tentu tidak ada alasan apa pun buat kita untuk membantahnya.

Mari kita berikan tauladan ibadah terbaik untuk anak kita!.


Sumber: http://www.junior-smart.com

DARAH YANG MENIMPA WANITA

Oleh : Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
[ MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M ]


Permasalahan darah yang keluar dari farji (kemaluan) wanita sudah pernah di bahas dalam lembar MUSLIMAH edisi tahun perdana. Namun karena masih banyaknya ‘kebingungan’ dalam masalah ini dan banyaknya pertanyaan yang dilontarkan seputar darah wanita, maka kami mencoba mengangkatnya kembali dalam edisi kali ini, dengan memperhatikan cara penyusunan dan pembahasan yang ada dalam kitab kecil berjudul Risalah fi Ad Dima’ Ath Thabi’iyyah lin Nisa’. Kitab kecil ini adalah karya seorang alim yang baru saja meninggalkan kita semua untuk kembali kepada kekasihnya yang tinggi, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu alim negeri Qashim Fadlilatusy Syaikh Al Imam Muhammad bin Shalih Al Utsaimin --semoga Allah merahmati beliau dan mengangkat derajat beliau di Jannah-Nya, amin--. Dan juga ditambah pembahasan Syaikh Musthafa Al Adawi dalam kitab beliau Jami’ Ahkam An Nisa’ juz pertama.
Kami katakan, ketahuilah wahai saudari Muslimah! Berkenaan dengan darah yang keluar dari farji wanita, maka kita dapatkan ada lima keadaan bagi wanita tersebut :
1. Wanita tersebut dalam keadaan suci
2. Atau dalam keadaan haid
3. Atau terkena istihadlah
4. Atau keluar darah fasid dari farjinya
5. Atau mengalami nifas
Bahwasannya darah yang keluar dari farji wanita ada tiga macam, yaitu : Darah haid, nifas, dan istihadlah. Permasalahan ini perlu kita ketahui dan kita pahami hukumnya karena berkaitan dengan ibadah kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita berusaha mencari tahu mana yang benar dari yang salah bila terjadi perselisihan dalam masalah ini. Dan yang menjadi sandaran kita dan tempat kembali dalam hal ini adalah Al Qur’an dan As Sunnah, dengan alasan sebagai berikut :
1) Karena Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber pokok yang dibangun di atasnya hukum-hukum Allah Ta’ala, di mana para hamba beribadah kepada Allah dengannya dan dibebani dengannya.
2) Ada ketenangan bagi hati, kelapangan dada, dan kesenangan jiwa dengan bersandar kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Tidak ada hujjah melainkan pada Kalamullah dan Kalam Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Demikian pula ucapan Ahli Ilmu dari kalangan shahabat merupakan hujjah --menurut pandangan yang rajih/kuat--, dengan syarat tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang menyelisihinya dan tidak pula diselisihi oleh shahabat yang lain. Apabila ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang menyelisihinya, maka wajib mengambil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dan jika diselisihi oleh shahabat yang lain, maka dilihat dan diambil mana yang paling benar di antara dua pendapat tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Kemudian jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang denikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih tepat ta’wilnya.” (An Nisa’ : 59)
(Lihat Mukaddimah Risalah fi Ad Dima’ karya Syaikh Ibnu Utsaimin)
Karena pembahasan masalah ini terlalu panjang maka kami bagi dalam beberapa edisi. Pertama kali pembicaraan kita berkisar masalah haid.
HAID
Secara bahasa haid adalah ‘mengalirnya sesuatu’. Adapun secara syar’i, haid adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita secara alami, tanpa sebab, di waktu-waktu tertentu.
Darah haid ini asalnya dari bagian dalam rahim, keluarnya bukan karena penyakit, bukan karena luka, keguguran ataupun kelahiran bayi.
Kata Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (2/162) : “Haid adalah darah hitam yang kental beraroma tidak sedap. Kapan saja tampak darah ini dari kemaluan wanita, maka tidak halal baginya untuk shalat, puasa, dan thawaf di Baitullah serta tidak boleh bagi suaminya atau tuannya (bila wanita tersebut berstatus budak, pent.) untuk menyetubuhinya kecuali bila wanita itu melihat ia telah suci.”
Berkata Al Imam Al Qurthubi rahimahullah : “Darah haid adalah darah hitam yang kental, mendominasinya warna merah.” (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ halaman 129)
Selain wanita, di antara jenis hewan ada juga yang mengalami haid seperti yang dikatakan oleh Al Jahidh dalam Kitab Al Hayawan : “Yang mengalami haid dari kalangan makhluk hidup ada empat yaitu wanita, kelinci, dlaba’ (sejenis anjing hutan), dan kelelawar. Dan haidnya kelinci ini masyhur dalam syair-syair Arab.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ halaman 128)
Dalam bahasa Arab, kata ‘nifas’ bisa juga dipakai untuk mengistilahkan haid. Seperti pertanyaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada istrinya ‘Aisyah radhiallahu 'anha :
“Maa Laki Anfisti? ... .”
“Ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid? ... .” (HR. Bukhari dalam Shahihnya no. 294)
Dan masih ada beberapa istilah lain untuk haid ini.
Walaupun semua wanita normal mengalami haid, namun ada perbedaan yang nyata di antara mereka sesuai dengan keadaan dan lingkungan masing-masing.
HAID ADALAH KETETAPAN ALLAH BAGI ANAK PEREMPUAN TURUNAN ADAM
Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha (no. 294) bahwasannya ia berkata :
“Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju kecuali untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk menemuiku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau bersabda :
‘Ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid?’ Aku menjawab : ‘Ya.’ Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan atas anak-anak perempuan keturunan adam… .’ “ (HR. Bukhari no. 294 dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha)
WAKTU DAN PANJANGNYA HAID
Ulama berselisih pendapat tentang batasan umur pertama kali wanita mengalami haid. Berkata Ad Darimi rahimahullah setelah menyebutkan perselisihan yang ada : “Semua pendapat ini menurutku salah! Karena tempat kembali dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur berapa saja keluar darah, maka itu harus dianggap darah haid. Wallahu a’lam.” (Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 1:386, sebagaimana dinukil dalam Risalah Ad Dima’)
Kata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi inilah yang benar, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dengan demikian kapan saja wanita melihat keluarnya darah, maka itu haid walaupun usianya belum mencapai 9 tahun atau usianya di atas 50 tahun. Yang demikian itu karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut, dan Allah dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu. Maka wajib mengembalikan hal ini kepada adanya darah. Pembatasan umur butuh dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, sementara tidak ada dalil dari keduanya.
Demikian pula dalam permasalahan panjangnya hari haid, ada perselisihan pendapat di kalangan ulama hingga mencapai sekitar enam atau tujuh pendapat. Ibnul Mundzir rahimahullah menyatakan : “Berkata sekelolmpok ulama : [‘Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid’]. Dan pendapat inilah yang benar, dengan dali-dalil sebagai berikut :
Pertama : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : [‘Haid itu adalah suatu kotoran’]. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian mendekai mereka hingga mereka suci dari haid.” (Al Baqarah : 222)
Dalam ayat di atas, Allah menjadikan batasan larangan untuk menyetubuhi (jima’) wanita haid adalah sampai selesainya haid (telah suci), dan bukan batasan sehari semalam atau tiga hari atau 15 hari. Maka ini menunjukkan bahwa sebab hukum adalah ada atau tidak adanya darah haid. Kapan didapatkan haid maka berlaku hukum di atas (tidak boleh jima’) dan kapan saja wanita suci maka hilang hukum tersebut.
Kedua : Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada ‘Aisyah radhiallahu 'anha yang haid dalam keadaan ia sedang ihram untuk umrah :
“ ‘Lakukanlah semua apa yang diperbuat orang yang berhaji. Hanya saja jangan engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.’ ‘Aisyah berkata : ‘Ketika datang hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) aku telah suci.’ “ (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, halaman 30)
Dalam Shahih Bukhari (3/610) disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada ‘Aisyah radhiallahu 'anha :
“Tunggulah, maka jika engkau telah suci, keluarlah menuju At Tan’im.” (HR. Bukhari 3/610 bab Ajr Al Umrah ‘Ala Qadri An Nashb)
Dalam dua hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjadikan batasan larangan thawaf di Ka’bah adalah sampai suci dari haid, dan beliau tidak menjadikan batasan berupa bilangan hari tertentu. Jadi patokannya adalah ada atau tidak adanya darah.
Ketiga : Batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, padahal hal ini sangat butuh untuk diterangkan. Kalau memang ada batasan tertentu yang harus dipahami oleh para hamba, niscaya Allah dan Rasul-Nya akan menerangkan dengan keterangan yang jelas bagi setiap orang, karena pentingnya hukum yang berkaitan dengannya seperti shalat, puasa, nikah, thalak, dan lain-lain. Sebagaimana Allah menerangkan bilangan raka’at shalat, waktunya, ruku, dan sujudnya. Dan sebagaimana Allah menerangkan masalah zakat, jenis harta yang dikeluarkan, nishabnya, kepada siapa diberikan dan lain-lain. Juga masalah puasa, batasannya dan waktunya. Sampai pun adab makan, minum, tidur, jima’, duduk, masuk rumah, keluar rumah, adab buang hajat, sampai jumlah batu yang digunakan untuk istijmar (bersuci dari hadats dengan menggunakan batu yang berjumlah ganjil) dan perkara lainnya, karena Allah telah berfirman :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab sebagai penjelas bagi segala sesuatu.” (An Nahl : 89)
“Al Qur’an ini bukanlah perkataan yang dibuat-buat, akan tetapi ini sebagai pembenar (kitab-kitab) yang sebelumnya, merinci segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf : 111)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata sebagaimana dinukil oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dari Risalah fi Al Asma’ Allati ‘Allaqa Asy Syari’ Al Ahkam Biha : “Di antara hal itu adalah nama haid. Allah kaitkan dengan haid tersebut dengan hukum-hukum yang berbilang dalam Al Kitab dan As Sunnah. Dan Allah tidak membatasi lamanya, baik minimalnya, maupun maksimalnya, tidak pula batasan suci di antara dua haid, padahal umat membutuhkannya. Maka siapa yang membuat batasan dalam hal ini berarti ia telah menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah.”
Keempat : Banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang bisa dituju padanya. Ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah, dan tidak ada satu pun dari ijtihad tersebut yang lebih pantas untuk diikuti daripada yang lain. Tentunya tempat kembali ketika ada perselisihan adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
Apabila telah jelas dalam permasalahan ini bahwa yang benar adalah tidak ada batasan minimal dan maksimal haid, setiap kali wanita melihat darah keluar dari farjinya bukan karena luka atau semisalnya, maka darah itu adalah darah haid tanpa ada batasan waktu atau umur. Kecuali bila darah tersebut keluar terus-menerus tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan, maka darah itu adalah darah istihadlah.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah istihadlah.”
Pendapat yang menyatakan tidak ada batasan minimal dan maksimal haid ini selain kuat dari sisi dalil juga lebih dekat kepada pemahaman dan lebih mudah dalam penerapan. Dan juga pendapat ini lebih pantas untuk diterima karena bersesuaian dengan ruh agama Islam dan kaidahnya, yaitu ‘Islam adalah agama yang mudah.’ Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan tidaklah Dia jadikan bagi kalian dalam agama ini suatu keberatan.” (Al Hajj : 78)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya agama ini mudah… .” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)
Dan termasuk akhlak Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika beliau diberi pilihan dua perkara, maka beliau memilih yang paling mudah selama tidak mengandung dosa” (Lihat selengkapnya bahasan ini di Risalah fi Ad Dima’)
Syaikh Musthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkam An Nisa’ membawakan ucapan Ibnu Taimiyyah yang ada dalam Majmu’ Fatawa 21/623 : [ “Adapun orang-orang yang mengatakan mayoritas waktu haid 15 hari sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i dan Ahmad, dan mereka mengatakan minimalnya sehari sebagaimana ucapan Syafi’i dan Ahmad, atau tidak ada batasannya sebagaimana pendapat Malik, maka mereka ini mengatakan : ‘Tidak ada sedikit pun dalil dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula dari shahabat beliau dalam hal ini. Dan yang menjadi patokan dalam perkara ini adalah kebiasaan (‘adah) sebagaimana yang telah kami katakan. Wallahu A’lam.” ]
APAKAH WANITA HAMIL MENGALAMI HAID ?
Secara umum, mayoritas wanita hamil terhenti dari haidnya. Berkata Imam Ahmad rahimahullah : “Wanita yang hamil diketahui hanyalah dengan berhentinya/terputusnya darah haid.”
Apabila wanita hamil melihat darah dua atau tiga kali sebelum melahirkan dan disertai rasa sakit (seperti melahirkan) maka darah tersebut adalah darah nifas. Apabila keluarnya jauh sebelum waktu melahirkan atau dekat dengan waktu melahirkan, namun tidak disertai rasa sakit, maka darahnya bukanlah darah nifas. Lalu timbul pertanyaan, apakah darah tersebut darah haid yang diberlakukan padanya hukum haid atau darah fasid yang tidak berlaku padanya hukum haid?
Dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Yang benar darah tersebut adalah darah haid jika keluarnya dalam bentuk yang biasa pada masa haidnya, karena tidak ada keterangan dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang menyebutkan bahwa darah yang keluar dari wanita hamil bukan darah haid.
Ini adalah madzhabnya Imam Malik dan Syafi’i dan ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. (Lihat Risalah fi Ad Dima’)
Jumhur Tabi’in di antaranya Said bin Al Musayyib, Atha’, Al Hasan Al Bashri, Jabir bin Zaid, Ikrimah, Muhammad Ibnu Al Munkadir, Asy Sya’bi, Makhul, Hammad, Ats Tsauri, Al Auza’i, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur berpendapat wanita hamil tidak mengalami haid dan bila ia melihat darah keluar dari farjinya maka darah itu adalah darah fasad.
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Al Laits mengatakan : “Darah yang dilihat oleh wanita hamil (dari farjinya) adalah darah haid jika memungkinkan.” Diriwayatkan juga pendapat ini dari Az Zuhri, Qatadah, dan Ishaq.
Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa’ pada juz 1 halaman 210 dari kitabnya : “Yang tampak bagiku setelah memperhatikan dalil-dalil yang ada bahwa yang lebih dekat kepada dalil adalah pendapat orang yang mengatakan wanita hamil itu tidak mengalami haid, ini merupakan asal. Terkadang ada wanita yang ganjil (lain dari kebanyakan wanita) keluar dari farjinya darah padahal ia sedang hamil. Maka darah ini diperhatikan, apabila warna dan baunya seperti darah haid dan keluarnya di waktu haid, maka darah tersebut terhitung darah haid dan ia meninggalkan shalat dan puasa, dan tidak boleh dijima’i oleh suaminya. Akan tetapi haid ini tidak terhitung dalam masalah ‘iddah (‘iddahnya wanita yang bercerai dengan suaminya atau wanita yang suaminya meninggal) karena Allah Ta’ala berfirman :
“Dan wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya… .” (Ath Thalaq : 4)
Semua yang disebutkan ini tidaklah membuang kaidah umum yang merupakan asas, yaitu wanita hamil tidak mengalami haid, karena yang dianggap dalam satu perkara adalah kebanyakan dan keumuman (sementara wanita hamil yang mengalami haid sangat jarang, pent.)
Adapun bila warna darah yang keluar dari farji wanita hamil bukan warna darah haid, demikian pula bau/aroma dan waktunya di luar waktu haid, maka darah tersebut bukan darah haid.
NAJISNYA DARAH HAID
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim 1/588 menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama tentang najisnya darah haid, dengan berdalil hadits Asma bintu Abu Bakar radhiallahu 'anha, ia berkata : [ Datang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ia berkata : ‘Salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haid, lalu apa yang harus ia perbuat?’ Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Hendaklah ia menggosoknya, kemudian ia kerik dengan jari-jari setelah dibasahi air, kemudian mencucinya dengan air, setelah itu ia dapat mengenakannya ketika shalat.“ (Muttafaqun ‘ALaihi) ]
Berkata Al Imam As Shan’ani setelah membawakan hadits di atas : “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid … .” (Subulus Salam 1/37)
KEJADIAN HAID
Kata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Ada beberapa macam kejadian haid :
Pertama : Bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan berhenti haidnya adalah tujuh hari, namun suatu ketika baru berjalan enam hari haidnya sudah berhenti.
Kedua : Terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan. Namun suatu ketika ia melihat darah haidnya datang pada akhir bulan.
Ulama berselisih pendapat dalam hukum dua masalah di atas. Yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia melihat dirinya suci, maka ia suci, sama saja apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja apakah waktunya maju atau mundur dari kebiasaan. Dan dalilnya telah disebutkan sebelum ini.
Ini merupakan madzhab Imam Syafi’i dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan dikuatkan oleh penulis Al Mughni.
Ketiga : Warna kekuningan atau keruh yang keluar dari farji. Apabila wanita melihat cairan berwarna kuning seperti air luka atau cairan yang keruh antara kuning dan hitam keluar pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum suci, maka cairan tersebut terhitung darah haid dan ditetapkan pada si wanita hukum-hukum haid.
Apabila keluarnya setelah suci dari haid maka cairan tersebut bukanlah haid berdasarkan ucapan Ummu ‘Athiyah radhiallahu 'anha :
“Kami dulunya tidak mempedulikan sedikit pun darah yang keruh (kudrah) dan kuning (shufrah) yang keluar setelah suci.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih, diriwayatkan juga oleh Bukhari namun tanpa lafadh ‘Ba’dath Thuhri’ akan tetapi Bukhari memberi tarjamah untuk hadits ini dalam kitab Shahihnya dengan bab ‘As Shufrah wa Al Kudrah fi Ghairi Ayyami Al Haid’ [ Bab ‘Darah kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid’ ])
DATANG DAN BERLALUNYA HAID
Datangnya haid diketahui dengan keluarnya darah berwarna hitam berbau tidak enak pada waktu yang memang memungkinkan terjadinya haid.
Berlalu/selesainya haid diketahui dengan :
1. Keringnya darah. Bila seorang wanita meletakkan kain, kapas atau yang semisalnya di farjinya, maka kain/kapas tersebut tetap kering.
2. Keluarnya Al Qashshab Al Baidla’ yaitu cairan putih yang keluar dari rahim setelah berhentinya darah.
Wallahu A’lam Bis Shawab.

Sabtu, 23 Juli 2011

KIAT SUKSES RAMADHAN

Puasa dan Takwa

Puasa diwajibkan atas kita orang-orang yang beriman. Kita yang telah berikrar lahir-batin bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah.
Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita. Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan, agung bukan karena diagungkan, berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula, Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa

Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.

Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:

(QS. Al-Baqarah: 183) "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya, hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).

Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 al-Baqarah di atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akherat..

Takwa sendiri lebih sering diucapkan ketimbang diterangkan. Ini barangkali karena banyaknya definisi. Intinya-sejalan dengan maknanya secara bahasa-ialah penjagaan diri. Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan penjagaan diri dari hukuman Allah dengan cara mentaati-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari melakukan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu dan tergoda setan. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan masih banyak lagi pendapat yang jika kita cermati, semuanya berujung pada satu makna. Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa kita mesti menjaga diri.

Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsunya dan atau godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya; berarti, dia menjaga diri agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari hukuman Allah dan dijauhkan dari-Nya.
Ibarat berjalan di ladang ranjau, orang yang bertakwa senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang dapat mencelakakannya.

Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekedar menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum. Seandainya sekedar menahan diri dari makan dan minum pun sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah. Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi untuk apa? Karena Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan makanannya sendiri, menahan haus, tidak minum minumannya sendiri.

Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada Allah. Dan seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah. Di dalam puasa, orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang kuat yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah, sehingga tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan, tidak terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang. Mukmin sejati, mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam hewan dan binatang buas, sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya sendiri atau milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam kesana-kemari. Na’udzu billah min dzalik.

Mudah-mudahan Allah menolong dan membantu kita dalam berpuasa serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Amin.

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri